Sebelum berangkat ke DIY Oktober lalu, teman SMA saya memberi tahu untuk mencoba Gudeg Pawon ini. Sepulang mengunjuni De Mata dan De Arca di XT square saya
bertanya pada Pak Satpam, daerah Janturan itu jauh tidak. Kata Pak Satpam, agak dekat dari XT square, bisa naik becak. Jadilah saya naik becak keluar dari dua museum kekinian di Yogya tersebut. Ongkos naik becak dari XT Square ke Janturan 20 ribu, Abang becak bilang di situ rame, tapi ko sepi ya. Ternyata jl Janturan no 36 sudah terlewati hingga balik lagi, ada plang nama tapi belum ada tanda warung buka, saat itu jam baru menunjukkan jam 20.30. Mau kembali ke hotel tanggung, penasaran. Akhirnya saya dekati rumah dengan plang ini walaupun menunggu perlu waktu 90an menit lagi :
Setelah perut "makan angin" dan mata mulai mengantuk, dan belum mandi sore, kemringetan, inilah penampakan saya :D
Bapak Pembuat minuman, menyuruh saya ke depan pintu, Ibu antrian no 1 katanya. Ada seorang bapak yg sudah ada di situ sebenarnya, tapi beliau datang saat saya tadi di becak terlewat. Bapak tersebut orang Jakarta, katanya kemarin malam sebelumnya sudah datang ke situ, tapi kehabisan, jadinya rela datang lagi karena putrinya minta makan di situ. Besok pagi sudah harus pulang ke Jakarta katanya. Halaaaaaah, membuat saya makin penasaran dengan gudeg ini. Si Bapak nanya saya, sendirian aja Neng ke sini ? Beranian yaa. Saya bilang, Yogya mah malam juga suasananya tidak menakutkan. Makin mendekati jam buka, antrian pembeli sudah mengular di halaman.
Jam 22.00 teng, tepat waktu, pintu pawon (dapur) dibuka, masuklah saya ke pawon ini. tampak dapur model jadul begini, asap dari kayu di perapian eh hawu (basa Sunda) membuat aroma dapur makin terasa. Begitu masuk, saya dilayani oleh seorang Ibu, ada 3 orang di situ, pembeli lain antri berdiri dengan tertib di belakang saya.
Saya menilih nasi gudeg, krecek dan dada ayam. Hadeuuh bela-belain makan malam banget karena gudeg ini, mudah-mudahan perut tidak protes ya. Ini penampakan piring saya :
Untuk minuman, saya memilih Wedang Uwuh (minuman berwarna nge-pink dari rempah-rempah). Makanpun dimulai, eh ternyata itu gudeg biasa aja rasanya di lidah, bedanya lebih terasa segar karena baru matang, yang istimewa ya karena makan di pawon itu (catat). Eh bedanya lagi, kreceknya tidak bau f******n seperti di Bandung. Saya berlama-lama mengunyah, melihat orang lain yang juga makan di situ, sampai baju berbau asap. Selesai makan, bayar makanan dan minuman 30 ribu. Mau pulang ke hotel, terpaksa memesan taksi daripada ojek karena ga bawa jaket, keluarlah ongkos 60 ribu dari Janturan ke Malioboro. Ini sepertinya ongkos termahal untuk makan (becak + taksi) dan waktu terlama (nunggu 1,5 jam). Hahahaha, dasar, saking penasaran, tos ah.