Tentang Saya

Selasa, 26 Januari 2016

Puncak Suroloyo Jogjakarta


Gara-gara pernah membaca postingan tentang Puncok Suroloyo di Jogjakarta, saya jadi ingin juga pergi ke sana, heee ,,,, di luar acara utama tour kantor ke Jogjakarta. Saat lihat itinerary tour, ada waktu luang pagi di Sabtu 23 Januari, saya pun mencari-cari jasa ojek wisata yang bisa mengantar saya ke sana. Sampai Jumat sore 22 Januari, dari 4 jasa ojek wisata yang saya hubungi, hanya ada satu yang membalas. Nah, ada tapinya nih, si Ojek yang bersedia ngantar saya, belum pernah ke sana katanya, dan dia tanya apa saya keberatan kalau sepanjang jalan dia nanya-nanya arah terus, kata saya ga apa-apa, sepakat dengan harga jasa antar pulang pergi, lalu saya minta dijemput jam 03.30 dini hari dari hotel Ibis Style. Si Bapak ojek, cukup sopan, dia bilang terbiasa mengantar tamu ke objek wisata yang sulit dijangkau angkutan umum, ternyata mereka punya pangsa pasar khusus juga. 

Nah, Sabtu 23 Januari 2016, bangun jam 3 pagi, lalu mandi dan ganti baju. Pas mau berangkat, saya pamitan dulu dengan teman sekamar, takut kaget saya menghilang, hehe. Si Bapak Ojek sudah nunggu di seberang hotel. Ada 4 alternatif mencapai Puncak Suroloyo dari pusat kota, jadi pilih salah satu, jadinya jalur jl Godean. Menembus dinginnya udara, dan mampir di sebuah mesjid untuk sholat Subuh. Beberapa kali bertanya pada penduduk setempat, akhirnya semakin mendekai Suroloyo di Perbukitan Menoreh. Keindahan relief Perbukitan Menoreh, tampak seperti Patung Budha yang sedang tidur, sayangnya tidak bisa saya abadikan karena saya pakai kamera pocket dan HP biasa. Semakin mendekati lokasi, udara terasa semakin dingin. 

Setelah melalui jalan yang mendebarkan karena melalui tanjakan terjal, belokan curam, kanan kiri bukit dan lembah akhirnya sampai di sana, langit sudah tampak terang. Alhamdulillah, saya bisa melihat indahnya sunrise di atas Perbukitan Menoreh. 



Ada bukit lain yang banyak didatangi pengunjung, cuma kondisinya sangat terjal dan belum ada pagar pengaman permanen. Saya memilih ke Puncak Suroloyo yang memang jadi tujuan utama saya. Begini penampakan 250an anak tangga menuju Puncak Suroloyo, cakep kan ? Tinggi masing-masing anak tangga lebih dari 20 cm jadi lumayan harus niat banget menitinya. Membayangkan Raden Mas Rangsang di abad ke-18 berjalan kaki dari Kotagede ke Puncak Suroloyo untuk tapa ksatrian gimana ya beratnya. 


Saya semangat untuk menaiki tangga ini, selain penasaran ke puncaknya juga sebagai latihan untuk trip berikut eh pekan depan, mau kemana eh kemana ?!


Bisa menikmati udara segar di ketinggian 1000 mdpl, jauh dari polusi, dan pemandangan yang menakjubkan. Pantesan banyak pengunjung lain sengaja datang ke situ.  


Cahaya dari ufuk timur, menerangi perbukitan.


Semakin siang, di sebelah utara bisa kita lihat Gunung Sumbing dan Sindoro. Bila hari cerah, katanya bisa lihat Candi Borobudur. 


Ada patung cantik di shelter ini, cuma sayang ada banyak coretan di sekitarnya, sayang sekali ya.


Pagar ini ada di shelter Puncak Suroloyo.

Ini saya sedang mikir suatu saat nanti apa saya bisa saya ampai ke Gunung Sumbing dan Sindoro di belakang sana ? Maauuu ....



Setelah puas menikmati Puncak Suroloyo, saya pun menuruni tangga, kios-kios di dekat pintu masuk baru buka. Ada patung-patung Punokawan di situ. Terbayang minum kopi panas dan warung yang jual kopi khas Suroloyo. 


Kopi arabika Suroloyo ini bisa dinikmati hanya dengan 3000 rupiah, sayang si penjual sedang tidak punya stok untuk dibawa pulang jadi oleh-oleh. 
Jadul style, ngopi pake cangkir kaleng dan tatakan keramik.


Perjalanan pulang jadi sangat menakjubkan, karena kita bisa lihat pemandangan pedesaaan di pegunungan. Penduduk yang memulai aktivitas pagi juga jadi pemandangan seru. Jangan lihat kiri, bila takut ketinggian, hehe ... naaah saat pulang itu, si Bapak Ojek cerita, dia terus terang sebenarnya takut ketinggian. Haa ??!! Pantesan pas berangkat dan lihat jurang yang curam dia mengendarai motor pelan banget, ternyata eh ternyata. Dia juga bilang, Ibu kok sampai tahu ada daerah ini, apa dari internet ? iya kata saya. Dia bilang rata-rata tamunya cari tempat yang sulit dikunjungi ya dari internet, nemu jasa dia juga dari internet. Yaa begitulah ...
Saya bisa melihat Gunung Merapi dan Merbabu dari arah Timur.  

Sebenarnya saya ingin juga mengunjungi Kali Biru, tapi takut tidak cukup waktu. Jadi  simpan dulu rencana itu, siapa tahu jadi ada alasan bisa ke Jogja lagi, haaa alasaaaaan. Pokoknya saya puas ke Puncak Suroloyo, segera pulang dan gabung kembali dengan rombongan. Jam 8 pagi saya sudah ada di hotel lagi, bisa menikmati sarapan, mandi lagi dan siap-siap lanjut tour lagi. 

Minggu, 24 Januari 2016

Pantai Indrayanti a.k.a Pantai Pulang Sawal

Katanya nama aslinya di Pemda adalah Pantai Pulang Sawal, tapi karena sudah kadung dikenal sebagai Pantai Indrayanti karena ada warung Indrayanti jadi saya ikut menyebut Pantai Indrayanti. Pantai yang indah dan romantis, sayangnya ga ada yang bisa diajak romantisan, lol .... 
Pasir yang bersih, batu karang yang kokoh, dan air laut yang jernih, masha Allah indah sekali ... sayangnya saya ga bisa nyebur di situ, masih ada tempat tujuan lain.  

Indahnya Pantai Indrayanti

Pantai bersih, laut biru, dan muka nyureng karena silau ,, jam 10.30an tuh ...

Hampir saja sendal ini lepas kena ombak. 

Jadinya kekurangan pantai ini cuma 1 : saya tidak nyebur, hehe ...




Menara Suar Pantai Baron


Sampai di Pantai Baron yang ingin dituju ya Menara Suar Tanjung Baron ini. Katanya sekarang ga afdhol kalo ke Pantai Baron ga nyoba menaiki menara ini.  Setelah berhasil mengajak teman untuk menuju menara, naik ke bukit dengan jalur setapak seperti di foto ini, eee abaikan yg difoto .... 



Naaah baru setengah perjalanan naik ke bukit pun, pemandangan sudah begitu indah.

Lihat pantainya, jadi tampak seperti buaya tidur ya.


Sampailah di atas bukit, dan kita bisa menemukan bangunan ini. Masih baru, katanya dibangun tahun 2014. 


Ini menara dengan ketinggian 40 m, setelah bilang kepada penjaganya, dipersilahkan masuk dengan memberikan uang 5000 rupiah per-orang. 


Memasuki bangunan menara 9 lantai ini, langsung terlihat tangga putar menuju atas. Dari lantai 1 ke lantai 8, kaki menaiki tangga putar. Keluar sebentar melihat balkon juga bisa. Naaah, dari lantai 8 ke 9 tantangan benerannya : naik tangga vertikal ini ! seru banget. Saya tinggalkan sandal karet supaya kaki tidak licin. 


Alhamdulillah sampai juga di lantai 9 dengan muka penuh keringat. Ini lampu suarnya. 


Pemandangan dari lantai 9 spektakuler, bisa melihat pesisir Gunung Kidul, di sebelah barat tampak pantai yang bentuknya seperti buaya tidur. 


Ke arah bawah, kita bisa melihat perahu nelayan yang bersandar. 


Pantai Baron, melihatnya dari ketinggian jauh lebih mengesankan.







Senin, 04 Januari 2016

Gunung Papandayan

Kalo diingat-ingat kapan saya sebenarnya ingin ke Gunung Papandayan, mungkin sebenarnya tahun 2001 lalu. Beberapa kali melihat gunung tersebut saat ke daerah Cisurupan Garut, bahkan belum terlaksana juga saat keburu meletus tahun 2002 lalu. 

Nah nah nah, seminggu sebelum akhirnya memutuskan ingin ke sana, lihat foto-foto postingan teman yang sedang berada di daerah kawah Gunung Papandayan, waw ,,,,, tuing tuing tuing langsung buka next trip di backpacker.com sampai menemukan Setapak Adventur yang akan buat trip ke sana, tanggal nya 2-3 Januari, ehmmm kebetulan atuh itu mah pas saya mau ulang tahun. Merasakan usia 40 tahun di atas gunung sepertinya mengasikkan. Sampai 3 hari sebelum berangkat, dari Setapak belum memastikan karena yang memastikan baru 3 orang, duh ... ngajak Hesti teman SMA tertarik, dan berharap banget Hesti bisa ikut. Sampai semalam sebelum berangkat, eh Hesti ternyata sakit dan tidak bisa ikut. Rencana ya jalan terus.

Pagi di tanggal 2 Januari, abis pamitan dengan sedikit dongkol karena telat berangkat, mana pake gojek yg pengendaranya lelet banget, akhirnya bertemu dengan tim dari Setapak Adv di Cileunyi, malu banget ya saya telat sampai. Masuk ke mobil elf, trus berusaha tidur tapi ga berhasil. Sampai Garut lumayan lancar kecuali di daerah Kadungora, biasa rada macet. Sesisi rombongan pada asyik masing-masing, mungkin karena belum pada kenal. Sampai di daerah Cisurupan, langsung menuju Camp David, aih rame sekali. Banyak wisatawan beragam usia. Setelah beristirahat, sholat dan makan di warung, milih nasi goreng telor, harga bersahabat dan terjangkau sampai jadi kasian dengan penjualnya. Sekalian beli air panas utk ngisi termos, emak-emak apa jalan-jalan kudu minum air panas ya, nggak laaah ,,, cuma penghangat perut (alesan :p). Foto dulu sebelum naik gunung ya, ini di depan warung.


Naaaah, melewati Camp David lalu masuk ke ke arah Kawah Gunung Papandayan, baru sampai lokasi kawah lalu kabut pun turun ,,, gelap dah, ga bisa foto pemandangan. Jadi fokus ke jalan, jangan sampai saya ketinggalan teman-teman. Mulai berasa dan ingin nyanyi naik-naik ke puncak gunung ,, abaikan ... Kenapa juga ga olahraga dulu beberapa hari eh minggu sebelumnya. Hee ... 


 Tuh ransel merah ribet ya bawa sleeping bag yang besar.   

Foto dulu di sekitar kawah, saat kabut mulai berlalu.  


Setelah melewati jalan setapak, dan hujan. Sampailah di Pondok Saladah, camping area di Gunung Papandayan, terkejut-kejut melihat ada banyak warung. Tau gitu sepertinya tidak perlu bawa bekal ya ...Setelah tenda berdiri, dan badan mulai gatel minta mandi sore, eh ngiler lihat cilok. OMG, berapa lama ga makan cilok ya, beli aja daripada ngences :p Cilok yang layak diabadikan, tak ada kue ultah, yang ada cilok dan dibeli di atas gunung, super sekali itu cilok ultah.  



Sebentar gerimis sebentar reda, begitu magrib saya memutuskan mandi !!! Bukan takut teman setenda bau tapi takut ga bisa tidur. Ajib lah, di Pondok saladah memang ada MCK, ga takut kurang air, setelah mandi di MCK pake headlamp (biar ga gelap), dinginnya air gunung berrrrrrr .... setelah mandi, wudhu, lalu ke mushola, Alhamdulillah seger. Tinggal menikmati kempingnya. Terakhir saya kemping tuh kapan ya ? Kalo ga salah saat kuliah naik Gunung Ungaran Semarang. Setelah berusaha tidur karena terganggu suara dengkur dari tenda lain, jarak belasan meter, akhirnya bisa juga terpejam. Jam 1 an malam, terbangun lagi karena suara teman yang ingin melihat hamparan bintang di langit, Subhanalloh indah sekali. 

3 Januari 2016.
Bangun jam 4 pagi lalu ke MCK, nekat mandi (lagi) lalu ganti baju dan antri sholat subuh di mushola. Setelah sholat eh ketinggalan celana panjang yang baru diganti :( nyadarnya pas mau berangkat ke Tegal Alun.  

Setelah rombongan berkumpul lalu, siaplah berangkat ke Hutan Mati. Saya terpesona oleh keindahan ciptaan-Mu Ya Allah, ingin nangis rasanya ...  



Melihat sunrise di Hutan Mati, lalu foto-foto. Eh apa foto-foto dulu baru lihat pemandangan utuh ... 



Kepulan asap dari Kawah terlihat dari bawah. 


Berdiri di atas tonggak kayu.


Hutan Mati ini karena pohon-pohon terkena lava dari letusan tahun 2002 lalu. Pemandangannya dramatis menakjubkan.


Foto seru bareng teman-teman rombongan. Sudah kenal semua ya setelah semalam cerita di tenda. Coba lihat mana yang usia 40 ? hehe ...


Nah dari Hutan Mati, kita menuju ke Tegal Alun, saya penasaran dengan Pohon Edelweis, ingin segera sampai, tapi sebelumnya harus melalui dulu Tanjakan Mamang, namanya lucu ya. Apa karena umuran mamang-mamang aja yg lewat situ dengan mudah.
Tanjakan mamang memiliki kemiringan 70 derajat dan bisa 
ditempuh sekitar 15 menitan. Perlu tekad yang kuat untuk melihat Edelweis. 
Tenaga juga harus kuat ya, fokus pada tujuan saja, pasti kuat.
Saya ambil foto dulu di Tanjakan Mamang, tampak pemandangan dari sekitarnya. 



Sampai di Tegal Alun, disambut pohon-pohon Edelweis, ingat-ingat cukup diabadikan gambarnya jangan sampai dipetik. Hamparan seluas 84 ha di ketinggian 2665 m dpl. 


Edelweis ternyata tinggi ya. Kuncup-kuncup edelweis baru muncul. Harus tahu tuh kapan mekarnya, siapa tahu ke situ lagi.





Ada telaga kecil yang biasanya kering di musim kemarau. 


Mungkin suatu saat saya ke sana lagi ya ...
Kembali ke Pondok Saladah, menuruni Tanjakan Mamang, terasa lebih mudah. Kayaknya kurang "afdhol" kemping tanpa makan mie, hehe ... saya makan pure kentang instan pedas di depan tenda, sebelum bersih-bersih. 

Setelah tenda dan perlengkapan beres semua, jam 11.30 saatnya pulang meninggalkan Pondok Saladah. Hebat ya Fikri, anak sekolahan yang jadi crew Setapak, badannya kecil bisa bawa 4 tenda sekaligus. Saat pulang, di jalur yang agak sulit dilalui, saya ga malu minta teman bawa sleeping bag saya, kan sudah kenal, eh karena ditawari bantuan, alhamdulillah ,,, jadi bisa rada santai dan foto-foto. Jas hujan jadinya dipakai bongkar pasang terus karena gerimis dan reda bergantian cepat sekali. 


Naah saat kembali melewati  kawah, cuaca jauh lebih cerah dibandingkan kemarin. 


Sampai di Camp David jam 14an. Mandi, sholat, ngemil siap pulang ke Bandung. Perjalanan yang sangat menyenangkan, meskipun elf yang kami tumpangi harus ke bengkel dulu ...