Tentang Saya

Selasa, 15 Maret 2016

GARAM


Hasil gambar untuk garam

Hei, saya menulis garam kali ini, untuk memenuhi tugas KMO-5. GARAM ? Iya serius ini tentang bumbu yang setiap hari kita konsumsi, kristal kecil tapi sangat berarti. Kalau tidak percaya bumbu ini sangat berarti, coba saja makan tanpa garam 13 hari, mungkin jadi tahu bagaimana rasanya. Eh ini mau bahas garam apa mau bahas diet mayo ? ... Ayo kita lanjut bahas garam ya. 
Garam yang kita konsumsi sehari-hari itu memiliki bagian utama yang paling dominan yaitu Natrium Klorida (NaCl), bahan lainnya juga terkandung dalam garam, terkadang mewarnai garam sehingga garam tidak berwarna putih bersih.
Garam yang selalu ada di dapur itu, mengalami dahulu proses untuk memperolehnya. Ada beberapa cara untuk memperoleh garam di antaranya : 1. penguapan air laut dengan batuan sinar matahari; 2. penambangan batuan garam (rock salt), dan 3. dari sumur air garam (brine). Cara yang paling sering dilakukan di Indonesia adalah melalui penguapan air laut. Dari ketiga cara tersebut, kandungan NaCl dalam garam yang dihasilkan mencapai lebih dari 95%.
          Dengan panjang pantai terpanjang kedua di dunia, dan limpahan sinar matahari, Indonesia memiliki potensi besar sebagai produsen garam. Pembuatan garam dengan cara tradisional sudah dilakukan turun temurun seperti di Pulau Madura yang sampai kini dikenal sebagai pulau garam, konon sejak awal abad ke-16, saat Pasukan dari Kerajaan Klungkung Bali terdesak oleh Pasukan Kerajaan Sumenep, lalu munculah seorang tokoh bernama Anggasuta yang menjadi penengah, beliau meminta supaya pasukan tentara Bali jangan dihancurkan dengan jaminan akan mengajarkan cara pembuatan garam pada masyarakat pesisir Madura. Setelah Anggasuta menetap di Girpapas Sumenep, beliau mengajarkan cara pembuatan garam dengan cara menguapkan air laut, kadar garam air laut (salinitas) di sekitar Pulau Madura tinggi, cara tersebut masih bertahan hingga kini. Setelah berkembang di daerah Pesisir Selatan Sumenep lalu berkembang ke Pamekasan dan Sampang. Pada jaman penjajahan Belanda, garam merupakan salah satu komoditas yang dimonopoli.  


Pembuatan garam secara tradisional demikian, tetap bertahan hingga kini karena petambak garam menganggapnya mudah untuk dilakukan dengan biaya operasional yang relatif murah. Pertama, air laut dialirkan ke tambak atau lahan penguapan (peminihan) dengan bantuan pompa. Air laut diuapkan sehingga menjadi air tua. Air tua lalu dialirkan ke meja kristalisasi dimana akhirnya garam akan mengkristal. Kristal garam diangkut dan disimpan di gudang penyimpanan. Proses tersebut dapat dilanjutkan dengan pencucian ataupun dijual sebagai garam curah. Pencucian bertujuan untuk mening-katkan kandungan NaCl pada garam dengan cara membuang bahan lain seperti unsur Mg, Ca, SO4 dan kotoran lainnya. Air pencuci garam semakin bersih dari kotoran akan menghasilkan garam cucian lebih baik atau bersih.
Hasil penguapan air laut itu merupakan garam kasar dengan kandungan NaCl sekitar 97%, tergantung dari kualitas air laut dan faktor lainnya yang mempengaruhi proses kristalisasi garam.   
Garam yang dihasilkan dapat dikategorikan berdasarkan perbedaan kandungan NaCl nya sebagai unsur utama garam, seperti : kategori baik sekali, baik dan sedang. Dikatakan “baik sekali” jika mengandung kadar NaCl >95%, “baik” apabila kadar NaCl 90–95%, dan “sedang” kadar NaCl antara 80–90%, sedangkan yang tidak baik atau kualitas paling rendah yaitu garam yang mengandung kadar Nacl <80%. Meskipun demikian yang diutamakan adalah garam yang memiliki kandungan NaCl di atas 95%.
Berdasarkan penggunaannya, garam dikelompokkan ke dalam jenis : garam konsumsi dan garam industri. Garam konsumsi meliputi garam dapur untuk memasak (termasuk garam meja untuk taburan) dan garam diet yang memiliki kandungan NaCl rendah. Sedangkan garam industri memiliki cakupan yang lebih luas, dari industri kimia, industri aneka pangan, industri farmasi, industri perminyakan, industri pengolahan air, industri penyamakan kulit, semua kebutuhan garam industri tersebut memiliki spesifikasi tertentu.
Kebutuhan garam nasional per tahun mencapai sekitar 2.200.000 ton, dimana 1.000.000 ton untuk kebutuhan konsumsi dan 1.200.000 ton untuk kebutuhan industri. Kapasitas produksi nasional saat ini 1.000.000 ton pertahunnya dengan rincian dari produksi garam rakyat sebanyak 700.000 ton dan PT. Garam 300.000 ton. Ada ketidakseimbangan antara peningkatan kebutuhan garam dengan potensi produksi nasional. Garam industri dengan kadar NaCl >95% yaitu sekitar 1.200.000 ton sampai saat ini seluruhnya masih diimpor, karena garam rakyat yang dihasilkan dari sistem kristalisasi, kualitasnya dianggap masih kurang, dengan kadar NaCl <90% dan masih banyak mengandung pengotor L
Ada banyak permasalahan dalam sistem produksi garam rakyat, di antaranya:
1.   Areal yang berpencar dengan variasi luasan antara 0,5 – 5 Ha perpetak, petak peminihan lebih luas daripada petak kristalisasi.
2.   Proses yang sederhana, kurangnya kontrol kepekatan air garam pada setiap alur proses, meja kristalisasi yang kurang padat juga membuat garam menjadi kurang bersih;
3.   Masalah teknis industri : peralatan dan cara produksi masih sederhana;
4.   Iklim, di Pulau Jawa masa kemarau relatif pendek antar 4-5 bulan pertahun dengan kelembaban tinggi; sedangkan di bagian Timur Indonesia 7-8 bulan pertahun.
5.   Produktivitas lahan masih rendah antara 60-80 ha/ton/musim.
6.   Kualitas produk masih rendah, tidak seragam dan sebagian masih memiliki kandungan pengotor.
7.   Sarana dan prasarana yang belum tertata, sehingga biaya transportasi menjadi tinggi, dan membebani biaya produksi.
Karena itu diperlukan upaya peningkatan kualitas produksi garam agar garam rakyat yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri. Jangan sampai terjadi kekurangan pasokan, sehingga pemerintah mengambil pilihan untuk mengimpor garam meskipun dilakukan di luar musim panen, mengingat potensi ekonomi dari garam masihlah sangat besar.


Daftar Pustaka
Haidawati, dkk. 2013. Evaluasi Program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat PUGAR) di Kabupaten Jeneponto. Jurusan Ilmu Perikanan, FPIK. Unhas
Rositawati, dkk. 2013. Rekristalisasi Garam Rakyat dari Daerah Demak untuk Mencapai SNI Garam Industri. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol 2 No. 4, Halaman 217 – 225.
Santosa, I. 2014. Pembuatan Garam Menggunakan Kolam Kedap Air Berukuran Sama. Program Studi Teknik Kimia. Universitas Ahmad Dahlan. Spektrum Industri. Vol. 12, No. 1, 1 – 112
http://www.kektapesarimadu.com/2015/08/27/mengenal-sejarah-garam-di-madura/

Selasa, 01 Maret 2016

Mengapa Menulis itu Penting untuk Saya




Tulisan ini saya buat untuk menyelesaikan PR KMO_5, pengakuan,  hehe ... bila tidak ditantang PR ini mungkin saya juga tidak menulis ini. 

Seberapa penting sih menulis untuk saya ? Ujung-ujungnya ya kembali ke alasan mengapa saya ingin belajar menulis. Banyak ide di kepala yang cuma membuat kepala berdenyut-denyut, tidak sampai tersalurkan menjadi sebuah tulisan, itu alasan utamanya.

Menulis adalah salah satu keterampilan yang harus dimiliki, sebagai bentuk komunikasi, dari jaman sekolah sampai bekerja, banyak sekali tuntutan untuk bisa menulis. Misalnya di jaman dulu saya kelas 1 SD di tahun 1982 lampau, guru SD sudah memberi PR mengarang, nah itu sudah membuat saya bingung, apa yang harus ditulis, jadinya nanya Ibu terus saya tulis kebetulan kelas 1 SD saya sudah lancar membaca dan menulis. Dari situ saya punya kesimpulan, apapun yang dipikirkan sebenarnya bisa dituliskan dan dibaca oleh orang lain. Di usia SMP, hobi menulis cuma dilakukan di buku harian yang berlanjut hingga kuliah, saat menulis di buku harian menjadi saat-saat menenangkan dan menyenangkan, apa yang dirasakan dan dialami saat itu tertumpah di buku harian yang sayangnya tidak berlanjut setelah menikah. Harusnya dilanjutnya ya, untuk mengekpresikan diri  dan mencurahkan perasaan dan gagasan, halaah ...

Keterampilan menulis saat sekolah, juga dirasakan membuat PR, laporan dan tugas-tugas kuliah, riset, skripsi dan yang rutin itu menjawab soal-soal UJIAN !!! Entahlah, jaman dulu kuliah S1 bila dosen memberi soal essay, saya rajin menjawab dengan jawaban panjang dan runtut, kadang sampai membuat teman-teman sebel karena saya minta kertas tambahan. Untuk menyakinkan dosen kita mampu menguasai pelajaran tersebut kan memang baiknya menyampaikan dalam bentuk tulisan dengan pemahaman kita sendiri, bukan cuma sesuai dengan yang pernah diberikan saat kuliah, artinya kita sudah membaca lebih banyak dari yang disampaikan di kelas. Kemampuan akademis menuntut kita membaca lebih banyak, meskipun keterbatasan untuk mendapatkan buku-buku yang diperlukan di saat itu, tidak seperti jaman sekarang, mudah mengakses dari google. Keterampilan menulis juga penting dalam dunia pekerjaan, meskipun laporan-laporan bersifat rutinitas, tapi bila tidak enak dibaca kan kurang bagus ya, saya sering gemas dengan penggunaan ejaan yang kurang pas pada laporan yang bersifat formal kedinasan. 

Manfaat lain yang saya rasakan kenapa harus menulis, adalah mengembangkan pola pikir dan berpikir kritis di saat kita membaca sesuatu. Sering kan, kita di saat membaca novel, trus kita berpikir harusnya begini harusnya begitu, atau lihat di koran, kok wartawan menuliskannya begitu ya, padahal narasumbernya tidak bicara demikian, dan sebagainya. Atau di saat kita memiliki sudut pandang lain atas suatu peristiwa yang terjadi, sebenarnya kita sedang mengembangkan kemampuan kita berpikir, entah dipengaruhi oleh pengetahuan yang pernah kita dapat sebelumnya, bisa juga karena pernah memiliki pengalaman yang sama. 

Kemampuan menulis, juga bermanfaat dalam menyampaikan sesuatu seperti ide atau menceritakan kenangan pada orang lain. Kebiasaan menyampaikan secara runtut memudahkan orang lain sebagai pembaca memahami apa yang disampaikan penulis, tidak sampai jaka sembung bawa golok, eh .. 

Tulisan ini, masa cukup di sini ya ? harusnya masih panjang ,,, cuma waktu takut keburu habis, nulispun numpang meja di warung bakso sepulang kantor,abaikan gambar di atas, kalo keburu sampai di rumah, pegang laptop langsung dipinjam anak batita-ku, mana dia mau tahu ibunya punya PR menulis di KMO_5 ?! hehehe ...